BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Daging
merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani. Tingginya
tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging
lebih banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging
mempunyai asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan
protein yang berasal dari nabati.
Pengolahan
daging lebih sulit dilakukan karena daging merupakan bahan pangan yang mudah
rusak. Banyak cara yang dilakukan untuk membuat hasil olahannya itu lebih lezat
dan menarik tanpa merusak tekstur daging itu sendiri. Penyimpanan yang salah
akan mengurangi cita rasa serta nilai gizi yang ada di dalamnya. Sama halnya
seperti penyimpanan, proses pengawetan daging juga harus sesuai dengan prosedur
dan dilakukan secara hati-hati agar terhindar dari kontaminasi bakteri.
Kandungan
gizi serta penampilan daging dari masing-masing hewan berbeda-beda, sehingga
berbeda pula cara pengolahannya. Penampilan dan kandungan gizi pada daging
sangat menentukan kualitas dari daging itu sendiri. Kualitas daging bisa
dilihat dari warna, tekstur dan baunya. Sehingga sangat perlu dilakukan uji
fisik serta uji organolepik,kimia dan mikroorganisme untuk mengetahui kualitas
dari daging yang akan dikonsumsi.
B.
TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah
ini adalah untuk mengetahui
metode uji fisik,kimia dan mikroorganisme
pada daging.
C.
MANFAAT
Mengetahui metode yang digunakan dalam
pengujian fisik,kimia dan mikroorganisme pada daging dan mendapatkan informasi
tentang ilmu pengetahuan pengujian pada daging.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DAGING
Definisi
daging adalah semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan
digunakan sebagai makanan. Daging terdiri dari empat jaringan utama, yaitu
jaringan otot (muscle), jaringan ikat, jaringan epitel dan jaringan saraf.
Daging dapat diklasifikasikan berdasarkan: intensitas warna, yaitu daging merah
dan daging putih; dan asal daging. Daging merah misalnya daging sapi, daging
kerbau, daging babi, daging domba, daging kambing dan daging kuda. Daging
unggas misalnya daging ayam, itik dan angsa. Daging hasil laut misalnya ikan,
udang, kepiting, kerang. Daging hewan liar misalnya kijang, babi hutan. Daging
aneka ternak misalnya kelinci, burung puyuh, dan merpati (Nurwantoro et al,
2003).
Daging
adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan
oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk
kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh. Menurut Food and
Drug Administration, daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak
sapi, kambing atau domba yang dipotong dalam keadaan sehat dan cukup umur,
tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal
dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan useofogus (yakni
pembuluh makanan yang menghubungkan mulut dengan perut) dan tidak termasuk
bibir, hidung, atau pada telinga dengan atau tanpa lemak yang menyertainya,
serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf dan pembuluh-pembuluh darah.
B. KOMPOSISI
DAGING
Komposisi kimia daging terdiri dari
air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi bukan protein terlarut 3,5% yang
meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin.
Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi,
selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam
amino esensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995). Protein merupakan
komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging, yang sangat dibutuhkan
untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan.
Nilai protein yang tinggi di dalam daging
disebabkan oleh asam amino esensialnya yang lengkap. Selain kaya protein,
daging juga mengandung energi, yang ditentukan oleh kandungan lemak di dalam
intraselular di dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandung kolesterol,
walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian
jeroan maupun otak. Daging juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang
sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium,
fosfor, dan zat besi serta vitamin B kompleks tetapi rendah vitamin C
(Anonimus, 2004). Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu
hewan masih hidup maupun setelah dipotong.
C. PENGUJIAN
FISIK DAGING
1)
Pemeriksaan Awal Pembusukan
Pemeriksaan awal pembusukan yang
dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai
dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino
akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada
daging sapi segar, dingin, dan beku yang diperiksa hasilnya negatif dimana
tidak terdapat NH4Cl setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada
daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas
terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3
sudah terbentuk.
Selain uji Eber, bisa dilakukan uji
Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma menunjukkan bahwa sampel daging segar
belum mulai terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga
menunjukkan hasil negatif. Hasil positif hanya ditunjukkan oleh sampel daging
busuk, yaitu dengan adanya perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri. Pada
prinsipnya, daging yang sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3
bebas akan mengikat reagen MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar
tidak terbentuk hasil NH3OH karena belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak
terjadinya perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen
rangkap yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO
tersebut, namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya
NH3 maka ikatan tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH3OH
yang akan merubah warna kertas lakmus dari merah menjadi biru.
Dari hasil uji H2S pada sampel
daging segar menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi pembusukan, sampel
daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Uji H2S pada
dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang
menginvasi daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan
berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan
bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb acetat
tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh maka
uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan
di tempat terbuka dalam waktu relatif lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk
meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam
sulfida dan amonia.
2)
Pemeriksaan Organoleptik
Pada sampel daging segar yang
diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging tersebut masih segar kalau
dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik penampilan, warna,
tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging yang masih segar.
Pada sampel daging dingin yang diperiksa setelah 24 jam menunjukkan bahwa
daging tersebut belum terjadi pembusukan, pada daging beku yang diperiksa
setelah 7 hari juga menunjukkan belum terjadinya pembusukan. Sampel daging
busuk menunjukkan perubahan yang sangat jelas, dimana bau sudah menjadi amis,
warna merah kehitaman, berlendir dan tekstur licin akibat pengeluaran lendir.
Warna daging pada daging segar
disebabkan oleh adanya pigmen merah keunguan yang disebut myoglobin yang
berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama dengan haemoglobin.
Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-protein
penyusunnya. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna
tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena
oksigen, perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible
(dapat balik). Namun, jika daging tersebut terlalu lama terkena oksigen maka
warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen
berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat
mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara,
pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna
merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen
metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna coklat menandakan bahwa
daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak.
(Astawan, 2004).
D. PENGUJIAN
KIMIA PADA DAGING
1)
Malachit Green Test
Pada uji Malachit Green test ini
untuk mengetahui hewan disembelih dengan sempurna atau tidak. Hasil uji yang
dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging tersebut berasal dari
hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran darah yang tidak
sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga
O2 dari H2O2 3% tidak mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan
hijau. Sebaliknya, jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green
menjadi warna biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging
cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang
efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie,
1995).
Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging
cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang
efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie,
1995).
2)
Pengukuran pH Ekstrak Daging
Standar pH daging hewan sehat dan
cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama
24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali
ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari
seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan
ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses
glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah.
Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian
persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat
dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan
mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Hasil perhitungan pH daging segar
adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang sehat. Setelah 24
jam di dalam refrigerator pH daging mengalami penurunan karena adanya aktivitas
mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu
pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat
karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen
yang semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa
E. PENUJIAN MIKROORGANISME PADA DAGING
Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging biasanya dilakukan untuk beberapa tujuan
seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara mikroorganisme biologis, 2)
Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3) Mengetahui daya
awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk
memantau mutu bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk
pada berbagai tahap pengolahan dan distribusi. Beberapa mikroorganisme
indicator pada daging merah dan unggas dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel Mikroorganisme Indikator pada Produk Daging
Indikator
|
Mikroorganisme
|
Keamanan
|
Salmonella
|
Staphylococcus aureus
|
|
Clostridium perfringens
|
|
Clostridia mesofilik
|
|
Sanitasi
|
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 35-37°C
|
Kokiform
|
|
Eschericia coli
|
|
Enterokoki
|
|
Daya tahan simpan
|
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 4-10°C
dan 20-30°C
|
Kapang dan khamir
|
|
Bakteri asam laktat (BAL)
|
|
Pseudomonad
|
Ada beberapa Metoge
pegujian mikroorganisme
Ø Sterilisasi
Bahan atau peralatan yang digunakan dalam bidang mikrobiologi harus dalam
keadaan steril. Steril artinya tidak didapatkan mikroba yang tidak diharapkan
kehadirannya, baik yang mengganggu atau merusak media atau mengganggu kehidupan
dan proses yang sedang dikerjakan. Setiap proses baik fisika, kimia dan mekanik
yang membunuh semua bentuk hidup terutama mikroorganisme disebut sterilisasi.
Ada beberapa metode sterilisasi, yaitu:
a.
Sterilisasi secara fisik
Cara membunuh mikroba ini dengan memakai panas (Thermal kill). Panas
tersebut akan mendenaturasi protein, terutama enzim-enzim dan membran sel.
Panas kering membunuh bakteri karena oksidasi komponen-komponen sel. Daya bunuh
panas kering tidak sebaik panas basah. Hal ini dibuktikan dengan memasukkan
biakan mikroba dalam air mendidih akan cepat mati daripada dipanasi secara
kering.
1).
Pemanasan Basah
- Otoklaf
Alat ini serupa tangki minyak yang dapat diisi dengan uap air. Dalam otoklaf,
yang mensterilkannya adalah panas basah, bukan tekanannya. Oleh karena itu
setelah air di dalam tangki mendidih dan mulai terbentuk uap air, maka uap air
ini akan mengalir ke ruang pensteril guna mendesak keluar semua udara di
dalmnya.
- Tyndallisasi
Metode ini berupa mendidihkan medium dengan uap beberapa menit saja. Setelah
didiamkan satu hari, selama itu spora-spora sempat tumbuh menjadi bakteri
vegetatif, maka medium tersebut dididihkan lagi selama beberapa menit. Akhirnya
pada hari ketiga, medium tersebut dididihkan sekali lagi. Dengan jalan demikian
diperoleh medium steril, dan zat-zat organik yang terkandung di dalamnya tidak
mengalami perubahan.
- Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatu cara disinfeksi dengan pemanasan yang pertamakalinya
dilakukan oleh Pasteur dengan maksud untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pembusuk
(perusak) di dalam anggur tanpa merusak anggur tersebut. Suhu yang dipergunakan
pada pasteurisasi adalah sekitar 69oC, dan waktu yang digunakan
adalah 30 menit.
2).
Pemanasan Kering
- Oven
Sterilisasi ini menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan ditempatkan
dalam oven di mana suhunya dapat mencapai 160-180oC. Caranya adalah
dengan memanaskan udara dalam oven tersebut dengan gas atau listrik. Oleh
karena daya penetrasi panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang
diperlukan pada sterilisasi cara ini lebih lama yakni selama 1 – 2 jam.
Sterilisasi cara ini baik dipergunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas
seperti cawan petri, pipet, tabung reaksi, labu dan sebagainya.
Ø Metode Hitungan Cawan
Metode hitungan cawan merupakan
metode yang paling sensitif untuk menentukan jasad renik, dengan prinsip jika
sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel jasad
renik tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dan dihitung tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992).
Keuntungan menggunakan metode hitungan cawan dalam menghitung jumlah koloni
pada medium agar adalah sebagai berikut:
1.
Hanya sel yang masih hidup yang dihitung
2.
beberapa jenis jasad renik dapat dihitung secara langsung
3.
dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi jasad renik karena koloni yang
terbentuk mungkin berasal dari suatu jasad renik yang mempunyai penampakan
pertumbuhan spesifik.
Selain keuntungan yang dimiliki
seperti tersebut di atas, metode hitungan cawan juga memiliki kelemahan seperti
yang termuat dalam Fardiaz (1992), yaitu:
1.
Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya karena beberapa
sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni
2.
medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbed
3.
jasad renik yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk
koloni yang nampak dan jelas, tidak menyebar.
4.
memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan
koloni dapat dihitung.
Metode
hitungan cawan dapat dibedakan dalam dua cara yaitu metode tuang (pour plate)
dan metode permukaan (surface plate) (Fardiaz, 1993).
1. Metode Tuang (Pour Plate)
Dari
pengenceran yang dikehendaki, sebanyak 1 ml atau 0,1 ml larutan tersebut
dipipet ke dalam cawan petri menggunakan pipet 1 ml atau 1,1 ml. Sebaiknya
waktu antara dimulainya pengenceran sampai menuangkan ke dalam cawan petri
tidak boleh lebih lama dari 30 menit. Kemudian ke dalam cawan tersebut
dimasukkan agar cair steril yang telah didinginkan sampai 47-500C
sebanyak 15-20 ml. Selama penuangan medium, tutup cawan jangan dibiarkan dibuka
terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Segera setelah penuangan
cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati, untuk menyebarkan sel-sel
secara merata, yaitu dengan gerakkan melingkar atau gerakan seperti angka
delapan. Setelah agar memadat, cawan-cawan tersebut dapat diinkubasikan di
dalam incubator dalam posisi terbalik (Fardiaz, 1993).
2. Metoda Permukaan
(Surface/Spread Plate)
Pada
pemupukan dengan metode permukaan, agar steril terlebih dahulu dituangkan ke
dalam cawan petri dan biarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna,
kemudian sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan
agar tersebut. Sebuah batang gelas melengkung (hockey stick) dicelupkan ke
dalam alcohol 95% dan dipijarkan sehingga alcohol habis terbakar. Setelah
dingin batang gelas tersebut digunakan untuk digunakan untuk meratakan contoh
di atas medium agar dengan cara memutarkan cawan petri di atas meja.
Selanjutnya inkubasi dan perhitungan koloni dilakukan seperti pada metode
penuangan. Tetapi harus diingat bahwa jumlah contoh yang ditumbuhkan
adalah 0,1 ml, jadi harus dimasukkan dalam perhitungan “total count” (Fardiaz,
1993).
3.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Dari hasil pemeriksaan mikroba pada
daging sapi segar didapat hasil Total Plate Count (TPC) adalah 1,5 x 105
bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam refrigerator selama 24
jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging yang dibekukan selama 7 hari 2,3 x
106 bakteri/ml, dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil perhitungan
TPC dari daging sapi segar dan daging sapi yang telah disimpan di dalam
refrigerator selama 24 jam masih berada di bawah angka standar yang
diperbolehkan untuk dikonsumsi, yaitu 1 x 106 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC
pada daging yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari dan daging busuk
didapatkan hasil di atas angka standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107
bakteri/ml, berarti daging-daging tersebut sudah banyak mengandung bakteri
sehinga tidak baik lagi untuk dikomsumsi.
Hasil pemeriksaan mikroba yang
dilakukan pada kulit ayam lebih tinggi dari angka maksimum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Hasil perhitungan TPC kulit ayam adalah 8 x 107,
padahal batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan SK
Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 bakteri/ml dan harus negatif dari
Salmonella sp.
Menurut Lawrie (1995) mengatakan
bahwa kontaminasi mikroba pada daging dapat terjadi pada saat hewan tersebut
masih hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal
dari tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai selama
proses persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja.
Pada umumnya, faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam, yaitu (a).
Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi
oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b).
Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya
oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz.dkk, 1992).
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
a)
Komposisi
kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi bukan
protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi
nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan makanan yang
penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada
daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.
b)
pemeriksaan
organoleptik merupakan Pada sampel
daging segar yang diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging tersebut
masih kalau dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik
penampilan, warna, tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging
yang masih segar.
c)
Pengujian
mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging biasanya dilakukan untuk beberapa tujuan
seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui
kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3) Mengetahui daya awet dari
produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk memantau mutu
bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk
B. KRITIK
DAN SARAN
Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dengan kata
sempurna. Akan tetapi bukan berarti makalah ini tidak berguna. Besar harapan
yang terpendam dalam hati semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih pada
suatu saat terhadap makalah tema yang sama. Dan dapat menjadi referensi bagi
pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.kemudian mari kita
banyak mempelajari semaksimal mungkin mengenai perkandangan maupun produksi
ayam petelur dan mengaplikasikanya dalam kehidupan guna memperbaiki kualitas
perekonomian dan peternakan ayam petelur dilingkungan sekitar kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimus. (2004). Panduan Pelaksanaan Kegiatan Kesehatan
Masyarakat Veteriner. DirektoratKesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian,
http://www.deptan.go.id.
Astawan, M. (2004). Mengapa Kita Perlu Makan Daging.
Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, IPB. http://www.gizi.net.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu
Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gibson, J. M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern Untuk
Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press,
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar