Jumat, 19 April 2013

makalah penujian fisik,kimia dsan mikroorganisme pada daging



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
          Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani. Tingginya tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging lebih banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging mempunyai asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati.
          Pengolahan daging lebih sulit dilakukan karena daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Banyak cara yang dilakukan untuk membuat hasil olahannya itu lebih lezat dan menarik tanpa merusak tekstur daging itu sendiri. Penyimpanan yang salah akan mengurangi cita rasa serta nilai gizi yang ada di dalamnya. Sama halnya seperti penyimpanan, proses pengawetan daging juga harus sesuai dengan prosedur dan dilakukan secara hati-hati agar terhindar dari kontaminasi bakteri.
          Kandungan gizi serta penampilan daging dari masing-masing hewan berbeda-beda, sehingga berbeda pula cara pengolahannya. Penampilan dan kandungan gizi pada daging sangat menentukan kualitas dari daging itu sendiri. Kualitas daging bisa dilihat dari warna, tekstur dan baunya. Sehingga sangat perlu dilakukan uji fisik serta uji organolepik,kimia dan mikroorganisme untuk mengetahui kualitas dari daging yang akan dikonsumsi.

B.     TUJUAN
          Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui metode uji fisik,kimia dan mikroorganisme  pada daging.
C.    MANFAAT
          Mengetahui metode yang digunakan dalam pengujian fisik,kimia dan mikroorganisme pada daging dan mendapatkan informasi tentang ilmu pengetahuan pengujian pada daging.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     DAGING
          Definisi daging adalah semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai dan digunakan sebagai makanan. Daging terdiri dari empat jaringan utama, yaitu jaringan otot (muscle), jaringan ikat, jaringan epitel dan jaringan saraf. Daging dapat diklasifikasikan berdasarkan: intensitas warna, yaitu daging merah dan daging putih; dan asal daging. Daging merah misalnya daging sapi, daging kerbau, daging babi, daging domba, daging kambing dan daging kuda. Daging unggas misalnya daging ayam, itik dan angsa. Daging hasil laut misalnya ikan, udang, kepiting, kerang. Daging hewan liar misalnya kijang, babi hutan. Daging aneka ternak misalnya kelinci, burung puyuh, dan merpati (Nurwantoro et al, 2003).
            Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh. Menurut Food and Drug Administration, daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, kambing atau domba yang dipotong dalam keadaan sehat dan cukup umur, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan useofogus (yakni pembuluh makanan yang menghubungkan mulut dengan perut) dan tidak termasuk bibir, hidung, atau pada telinga dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf dan pembuluh-pembuluh darah.
B.     KOMPOSISI DAGING
            Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Lawrie, 1995). Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging, yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan.
 Nilai protein yang tinggi di dalam daging disebabkan oleh asam amino esensialnya yang lengkap. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi, yang ditentukan oleh kandungan lemak di dalam intraselular di dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Daging juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi serta vitamin B kompleks tetapi rendah vitamin C (Anonimus, 2004). Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong.
C.    PENGUJIAN FISIK DAGING
1)      Pemeriksaan Awal Pembusukan
Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, dingin, dan beku yang diperiksa hasilnya negatif dimana tidak terdapat NH4Cl setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada daging-daging tersebut belum terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk.
Selain uji Eber, bisa dilakukan uji Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma menunjukkan bahwa sampel daging segar belum mulai terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Hasil positif hanya ditunjukkan oleh sampel daging busuk, yaitu dengan adanya perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri. Pada prinsipnya, daging yang sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3 bebas akan mengikat reagen MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar tidak terbentuk hasil NH3OH karena belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak terjadinya perubahan warna kertas lakmus karena MgO merupakan ikatan kovalen rangkap yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur basa pada MgO tersebut, namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya NH3 maka ikatan tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH3OH yang akan merubah warna kertas lakmus dari merah menjadi biru.
Dari hasil uji H2S pada sampel daging segar menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Uji H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu relatif lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.
2)      Pemeriksaan Organoleptik
Pada sampel daging segar yang diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging tersebut masih segar kalau dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik penampilan, warna, tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging yang masih segar. Pada sampel daging dingin yang diperiksa setelah 24 jam menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi pembusukan, pada daging beku yang diperiksa setelah 7 hari juga menunjukkan belum terjadinya pembusukan. Sampel daging busuk menunjukkan perubahan yang sangat jelas, dimana bau sudah menjadi amis, warna merah kehitaman, berlendir dan tekstur licin akibat pengeluaran lendir.
Warna daging pada daging segar disebabkan oleh adanya pigmen merah keunguan yang disebut myoglobin yang berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama dengan haemoglobin. Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-protein penyusunnya. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen, perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, jika daging tersebut terlalu lama terkena oksigen maka warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. (Astawan, 2004).
D.    PENGUJIAN KIMIA PADA DAGING
1)      Malachit Green Test
Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih dengan sempurna atau tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran darah yang tidak sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga O2 dari H2O2 3% tidak mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan hijau. Sebaliknya, jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi warna biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).
Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).
2)      Pengukuran pH Ekstrak Daging
Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal dari hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH daging mengalami penurunan karena adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa
E.     PENUJIAN MIKROORGANISME PADA DAGING
              Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging  biasanya dilakukan untuk beberapa tujuan seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3)  Mengetahui daya awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk memantau mutu bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk pada berbagai tahap pengolahan dan distribusi. Beberapa mikroorganisme indicator pada daging merah dan unggas dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel  Mikroorganisme Indikator pada Produk Daging
Indikator
Mikroorganisme
Keamanan
Salmonella

Staphylococcus aureus

Clostridium perfringens

Clostridia mesofilik
Sanitasi
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 35-37°C

Kokiform

Eschericia coli

Enterokoki
Daya tahan simpan
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 4-10°C dan 20-30°C

Kapang dan khamir

Bakteri asam laktat (BAL)

Pseudomonad

Ada beberapa Metoge pegujian mikroorganisme
Ø  Sterilisasi
            Bahan atau peralatan yang digunakan dalam bidang mikrobiologi harus dalam keadaan steril. Steril artinya tidak didapatkan mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya, baik yang mengganggu atau merusak media atau mengganggu kehidupan dan proses yang sedang dikerjakan. Setiap proses baik fisika, kimia dan mekanik yang membunuh semua bentuk hidup terutama mikroorganisme disebut sterilisasi.
            Ada beberapa metode sterilisasi, yaitu:
a. Sterilisasi secara fisik
            Cara membunuh mikroba ini dengan memakai panas (Thermal kill). Panas tersebut akan mendenaturasi protein, terutama enzim-enzim dan membran sel. Panas kering membunuh bakteri karena oksidasi komponen-komponen sel. Daya bunuh panas kering tidak sebaik panas basah. Hal ini dibuktikan dengan memasukkan biakan mikroba dalam air mendidih akan cepat mati daripada dipanasi secara kering.
1). Pemanasan Basah
- Otoklaf
            Alat ini serupa tangki minyak yang dapat diisi dengan uap air. Dalam otoklaf, yang mensterilkannya adalah panas basah, bukan tekanannya. Oleh karena itu setelah air di dalam tangki mendidih dan mulai terbentuk uap air, maka uap air ini akan mengalir ke ruang pensteril guna mendesak keluar semua udara di dalmnya.
- Tyndallisasi
            Metode ini berupa mendidihkan medium dengan uap beberapa menit saja. Setelah didiamkan satu hari, selama itu spora-spora sempat tumbuh menjadi bakteri vegetatif, maka medium tersebut dididihkan lagi selama beberapa menit. Akhirnya pada hari ketiga, medium tersebut dididihkan sekali lagi. Dengan jalan demikian diperoleh medium steril, dan zat-zat organik yang terkandung di dalamnya tidak mengalami perubahan.
- Pasteurisasi
            Pasteurisasi adalah suatu cara disinfeksi dengan pemanasan yang pertamakalinya dilakukan oleh Pasteur dengan maksud untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pembusuk (perusak) di dalam anggur tanpa merusak anggur tersebut. Suhu yang dipergunakan pada pasteurisasi adalah sekitar 69oC, dan waktu yang digunakan adalah 30 menit.
2). Pemanasan Kering
- Oven
            Sterilisasi ini menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan ditempatkan dalam oven di mana suhunya dapat mencapai 160-180oC. Caranya adalah dengan memanaskan udara dalam oven tersebut dengan gas atau listrik. Oleh karena daya penetrasi panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang diperlukan pada sterilisasi cara ini lebih lama yakni selama 1 – 2 jam. Sterilisasi cara ini baik dipergunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas seperti cawan petri, pipet, tabung reaksi, labu dan sebagainya.

Ø  Metode Hitungan Cawan
Metode hitungan cawan merupakan metode yang paling sensitif untuk menentukan jasad renik, dengan prinsip jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992).  Keuntungan menggunakan metode hitungan cawan dalam menghitung jumlah koloni pada medium agar adalah sebagai berikut:
1.      Hanya sel yang masih hidup yang dihitung
2.      beberapa jenis jasad renik dapat dihitung secara langsung
3.      dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi jasad renik karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari suatu jasad renik yang mempunyai penampakan pertumbuhan spesifik.
Selain keuntungan yang dimiliki seperti tersebut di atas, metode hitungan cawan juga memiliki kelemahan seperti yang termuat dalam Fardiaz (1992), yaitu:
1.      Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni
2.      medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbed
3.      jasad renik yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang nampak dan jelas, tidak menyebar.
4.      memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung.
Metode hitungan cawan dapat dibedakan dalam dua cara yaitu metode tuang (pour plate) dan metode permukaan (surface plate) (Fardiaz, 1993).
    1.  Metode Tuang (Pour Plate)
Dari pengenceran yang dikehendaki, sebanyak 1 ml atau 0,1 ml larutan tersebut dipipet ke dalam cawan petri menggunakan pipet 1 ml atau 1,1 ml. Sebaiknya waktu antara dimulainya pengenceran sampai menuangkan ke dalam cawan petri tidak boleh lebih lama dari 30 menit. Kemudian ke dalam cawan tersebut dimasukkan agar cair steril yang telah didinginkan sampai 47-500C sebanyak 15-20 ml. Selama penuangan medium, tutup cawan jangan dibiarkan dibuka terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Segera setelah penuangan cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati, untuk menyebarkan sel-sel secara merata, yaitu dengan gerakkan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar memadat, cawan-cawan tersebut dapat diinkubasikan di dalam incubator dalam posisi terbalik (Fardiaz, 1993).
2.   Metoda Permukaan (Surface/Spread Plate)
Pada pemupukan dengan metode permukaan, agar steril terlebih dahulu dituangkan ke dalam cawan petri dan biarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna, kemudian sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Sebuah batang gelas melengkung (hockey stick) dicelupkan ke dalam alcohol 95% dan dipijarkan sehingga alcohol habis terbakar. Setelah dingin batang gelas tersebut digunakan untuk digunakan untuk meratakan contoh di atas medium agar dengan cara memutarkan cawan petri di atas meja. Selanjutnya inkubasi dan perhitungan koloni dilakukan seperti pada metode penuangan. Tetapi harus diingat bahwa  jumlah contoh yang ditumbuhkan adalah 0,1 ml, jadi harus dimasukkan dalam perhitungan “total count” (Fardiaz, 1993).
3.      Pemeriksaan Mikrobiologi
Dari hasil pemeriksaan mikroba pada daging sapi segar didapat hasil Total Plate Count (TPC) adalah 1,5 x 105 bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam refrigerator selama 24 jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging yang dibekukan selama 7 hari 2,3 x 106 bakteri/ml, dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC dari daging sapi segar dan daging sapi yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 24 jam masih berada di bawah angka standar yang diperbolehkan untuk dikonsumsi, yaitu 1 x 106 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC pada daging yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari dan daging busuk didapatkan hasil di atas angka standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107 bakteri/ml, berarti daging-daging tersebut sudah banyak mengandung bakteri sehinga tidak baik lagi untuk dikomsumsi.
Hasil pemeriksaan mikroba yang dilakukan pada kulit ayam lebih tinggi dari angka maksimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil perhitungan TPC kulit ayam adalah 8 x 107, padahal batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan SK Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 bakteri/ml dan harus negatif dari Salmonella sp.
Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa kontaminasi mikroba pada daging dapat terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai selama proses persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja.
Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz.dkk, 1992).



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

a)      Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.
b)      pemeriksaan organoleptik merupakan Pada sampel daging segar yang diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging tersebut masih kalau dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik penampilan, warna, tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging yang masih segar.
c)      Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging  biasanya dilakukan untuk beberapa tujuan seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3)  Mengetahui daya awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk memantau mutu bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk


B.     KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dengan kata sempurna. Akan tetapi bukan berarti makalah ini tidak berguna. Besar harapan yang terpendam dalam hati semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih pada suatu saat terhadap makalah tema yang sama. Dan dapat menjadi referensi bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.kemudian mari kita banyak mempelajari semaksimal mungkin mengenai perkandangan maupun produksi ayam petelur dan mengaplikasikanya dalam kehidupan guna memperbaiki kualitas perekonomian dan peternakan ayam petelur dilingkungan sekitar kita.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. (2004). Panduan Pelaksanaan Kegiatan Kesehatan Masyarakat Veteriner. DirektoratKesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian, http://www.deptan.go.id.
Astawan, M. (2004). Mengapa Kita Perlu Makan Daging. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, IPB. http://www.gizi.net.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gamman P.M. dan K.B. Sherrington.(1992). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gibson, J. M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern Untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Lawrie. (1995). Ilmu Daging. Penerjemah Parakkasi. UI Press, Jakarta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar